ki-Hadjar-DewantaraSetiap awal bulan Mei, ada dua hari peringatan penting  di Indonesia. Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh dan tanggal 2 Mei diperingati Hari Pendidikan Nasional. Tahun ini kedua peringatan tersebut akan terasa berbeda dengan adanya wabah pandemi covid-19. Wabah yang telah membawa norma baru dalam kehidupan kita. 

Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan istilah May Day adalah hari yang dirayakan oleh pekerja di seluruh dunia. Sejak Indonesia merdeka, May Day sudah dikenal luas di kalangan pekerja. Di era orde lama, May Day diperingati dengan meriah. Presiden Sukarno selalu menghadiri peringatannya. Bahkan di kabinet orde lama ada kementrian dengan nama kementrian perburuhan. 

Sebaliknya, di era orde baru peringatan May Day dilarang karena disinyalir mendukung paham komunisme. Istilah buruh pun diganti dengan pekerja. Kementerian berubah nama menjadi kementerian tenaga kerja. Istilah ini pun masih digunakan hingga saat ini.

Di era reformasi, dorongan untuk menghidupkan kembali May Day kembali bergelora. Banyak pihak yang menginginkan May Day kembali diperingati. Puncaknya, May Day kembali dijadikan hari libur nasional di era pemerintahan Presiden SBY di tahun 2014. 

Sebenarnya kata buruh sepadan dengan kata pekerja. Dalam Bahasa Indonesia, kata pekerja tidak mesti selalu harus diartikan pekerja kasar. Dalam Bahasa Inggris digunakan kata “Labor“. Dalam literatur ada berbagai macam cara mengelompokkan labor. Dalam sebuah pengelompokkan, istilah labor dikelompokkan menjadi 4 jenis; unskilled labor, semi skilled labor, skilled labor dan professional labor.

May Day dan Hardiknas mempunyai benang merah, selain tanggalnya yang berdekatan. Hardiknas diambil dari hari lahirnya Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda. Semboyan beliau “Tut wuri handayani” diabadikan pada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Lalu, apa hubungannya May Day dengan Pendidikan? Tidak banyak terpikir oleh kita. Sesuai dengan semboyan yang tertera pada logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, aktor utama dalam dunia pendidikan adalah guru. Guru yang selalu mendorong dan memberikan arahan dan bimbingan kepada  siswa-siswanya. Guru notabenenya adalah seorang pekerja juga. Guru dijadikan salah satu  profesi yang dituliskan dalam kolom pekerjaan pada kartu tanda pengenal kita. Seorang guru sejatinya bekerja juga seperti layaknya profesi-profesi pekerjaan yang lain.

Tetapi biasanya profesi guru tidak disangkut pautkan dengan May Day. Sebabnya adalah karena di negara kita May Day lebih identik dengan pekerja kasar. Seperti stigma yang dikenal luas di masyarakat bahwa buruh adalah pekerja kasar atau unskilled labor. Dan guru tidak termasuk ke dalam kategori itu.

Pemerintah kita cenderung menempatkan guru di kategori professional labor dengan adanya sertifikasi keprofesian. Kesejahteraan guru lambat laun mulai meningkat. Hanya tinggal satu PR besar pemerintah berkenaan dengan kesejahteraan guru, yaitu masih banyaknya guru-guru di daerah yang masih berstatus honorer dengan honor seadanya.

Korelasi yang lain, bisa dilihat di masa pandemi ini. Buruh dan guru juga sama-sama terkena imbasnya. Banyak buruh yang dipotong gajinya ataupun terkena PHK. Begitu juga guru-guru, terutama yang mengajar di sekolah swasta. Tidak adanya tatap muka dan juga karena orang tua terkena imbas ekonomi dari covid-19, banyak orang tua yang menunggak bahkan tidak sanggup lagi membayar uang sekolah. Efeknya, sekolah-sekolah swasta banyak yang menjerit. Kemampuan finansial sekolah tidak mencukupi. Beberapanya harus memotong gaji guru-guru, bahkan ada yang harus merampingkan jumlah tenaga pengajarnya.

Dari segi materi, buruh dan guru memang terimbas dengan adanya covid-19. Wajar saja, karena kita melihat keduanya dari sisi keprofesian atau pekerjaan. Kita melihat keduanya dari kategori labor, yang selalu berhubungan dengan upah. Dimana setiap pekerja harus mendapatkan upah atas apa yang sudah dikerjakannya.

Ada satu hal yang membedakan antara buruh dan guru. Guru mempunyai dimensi lain diluar kedudukannya sebagai pekerja, labor atau apapun sebutannya. Apa dimensi lain itu? Tak lain dan tak bukan, guru mempunyai dimensi kemanusiaan. Guru tidak hanya mementingkan nilai materi atau upah. Ini yang menyebabkan guru disebut sebagai pahlawan bangsa. Pahlawan tanpa tanda jasa.

Jika kita melihat dari sisi ini, maka pemahaman kita akan guru sebagai profesi akan berubah. Kita tidak hanya menyebutnya profesi, tetapi menyebutnya “Guru sebagai jati diri”. Ketika kita melihat sisi ini, maka nilai-nilai material tidak dikedepankan. Guru lebih mengedepankan nilai-nilai dedikasi. Bagaimana guru bisa berkontribusi positif terhadap masyarakat. Bagaimana guru bisa mencerdaskan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai akhlak yang baik pada masyarakat. Inilah jati diri sesungguhnya dari seorang guru yang telah memilih profesi ini sebagai jalan hidupnya.

Berkenaan dengan ini, banyak sekali contohnya yang selalu berulang-ulang dari masa ke masa. Salah satunya adalah kisah nyata seorang guru di daerah terpencil ini. Di tengah wabah covid-19, seorang guru harus berkeliling dari rumah ke rumah untuk memberikan pelajaran ke siswanya yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara daring. 

Jika kita pikirkan, sebenarnya tidak ada kewajiban baginya untuk berkeliling. Lalu, mengapa dia melakukan itu? Sebuah jawaban normatif , tetapi nyata tersuguh dihadapan kita. “Sebuah panggilan hati”, ujarnya. Ya, panggilan hatilah yang menggerakkan kakinya untuk melangkah menyusuri desa-desa dari rumah ke rumah untuk mengajari anak-anak. Panggilan hati yang merefleksikan jati dirinya sebagai seorang guru.

Saya jadi teringat dengan film Laskar Pelangi yang begitu fenomenal beberapa tahun lalu. Film yang diangkat dari novel kisah nyata dengan judul yang sama. Sosok Ibu Muslimah di film itu memang sangat pas menggambarkan bagaimana seorang guru yang mendidik dengan hati. Ternyata adegan yang nyata terjadi beberapa puluh tahun yang lalu itu, masih bisa kita saksikan di era sekarang ini. Sejarah yang akan selalu berulang.

Ya, merekalah sosok guru yang sejati. Guru yang bekerja dengan hati. Tanpa mengharapkan materi, apalagi sertifikasi. Merekalah sosok guru yang menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Bukan guru yang hanya sekedar menjalani profesi.

Alhasil, di era yang kita jalani sekarang ini diperlukan para pekerja-pekerja yang profesional. Para pekerja yang berdedikasi tinggi terhadap pekerjaannya. Semua itu harus diimbangi dengan perangai hati yang tulus dalam bekerja. Dimanapun kita bekerja. Lebih khusus lagi di dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan mempunyai tujuan yang penting dan mulia. Tujuan yang menjadi pondasi penting berlangsungnya kehidupan di muka bumi. Yaitu tujuan untuk mendidik kemanusiaan. Selamat memperingati Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional 2020.